Dok AISKI
Briket
bahan bakar coco peat yang diproduksi anggota Asosiasi Industri Sabut
Kelapa Indonesia (AISKI) di Desa Penjuru, Kecamatan Kateman, Kabupaten
Indragiri Hilir (Inhil) , Riau, sangat diminati buyer asal Jepang.
Ini menyusul tingginya permintaan pasar internasional akan bahan bakar ramah lingkungan tersebut.
Sejak produk briket bahan bakar coco peat ini dipamerkan ke publik pada acara Trade Expo Indonesia (TEI) di International Expo Kemayoran, Jakarta, pekan lalu, sejumlah buyer dari berbagai negara langsung menyatakan ketertarikannya dan siap melakukan kontrak pembelian jangka panjang.
Salah satu negara buyer yang paling berminat dengan briket bahan bakar coco peat ini adalah Jepang.
Mereka membutuhkan briket bahan bakar coco peat sekitar 10 ribu ton per bulan sebagai bagian dari upaya negara tersebut mengurangi pemakaian bahan bakar yang tidak ramah lingkungan.
“Ini tantangan bagi AISKI. Kita tidak menyangka, sambutan pasar terhadap briket bahan bakar coco peat ini luar biasa. Untuk memenuhi permintaan sebanyak itu, AISKI akan mencoba cari partner bisnis yang memiliki kemampuan finansial,” ungkap Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan AISKI, Ady Indra Pawennari dalam siaran persnya yang diterima Tribunnews, Jumat (26/10/2012).
Menurut Ady, briket bahan bakar coco peat ini pertama kali diproduksi anggotanya di Desa Penjuru, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, pada tahun 2010 lalu.
Namun karena kemampuan produksi mesin yang sangat terbatas, akhirnya produksi bahan bakar coco peat tersebut terhenti di tengah jalan.
“Kendalanya hanya di mesin produksi yang tidak bisa massal. Soal kualitas, tidak perlu diragukan lagi. Panasnya sama dengan briket arang tempurung kelapa. Briket bahan bakar coco peat ini sangat baik sebagai pengganti minyak tanah untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang semakin tergerus,” jelasnya.
Soal ketersediaan bahan baku, Ady mengaku tidak khawatir. Pasalnya, Indonesia sebagai produsen buah kelapa terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 15 miliar butir per tahun, memiliki potensi bahan baku coco peat sekitar 5,8 juta ton per tahun.
“Soal bahan baku, kita tidak perlu khawatir. Yang perlu kita pikirkan, bagaimana mendapatkan mesin yang bisa produksi secara massal. Saya juga sangat yakin, briket bahan bakar coco peat ini akan sangat membantu masyarakat pedesaan mengurangi penggunaan minyak tanah yang harganya sudah mencapai angka Rp13 ribu per liter,” tambahnya.
Sejak produk briket bahan bakar coco peat ini dipamerkan ke publik pada acara Trade Expo Indonesia (TEI) di International Expo Kemayoran, Jakarta, pekan lalu, sejumlah buyer dari berbagai negara langsung menyatakan ketertarikannya dan siap melakukan kontrak pembelian jangka panjang.
Salah satu negara buyer yang paling berminat dengan briket bahan bakar coco peat ini adalah Jepang.
Mereka membutuhkan briket bahan bakar coco peat sekitar 10 ribu ton per bulan sebagai bagian dari upaya negara tersebut mengurangi pemakaian bahan bakar yang tidak ramah lingkungan.
“Ini tantangan bagi AISKI. Kita tidak menyangka, sambutan pasar terhadap briket bahan bakar coco peat ini luar biasa. Untuk memenuhi permintaan sebanyak itu, AISKI akan mencoba cari partner bisnis yang memiliki kemampuan finansial,” ungkap Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan AISKI, Ady Indra Pawennari dalam siaran persnya yang diterima Tribunnews, Jumat (26/10/2012).
Menurut Ady, briket bahan bakar coco peat ini pertama kali diproduksi anggotanya di Desa Penjuru, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, pada tahun 2010 lalu.
Namun karena kemampuan produksi mesin yang sangat terbatas, akhirnya produksi bahan bakar coco peat tersebut terhenti di tengah jalan.
“Kendalanya hanya di mesin produksi yang tidak bisa massal. Soal kualitas, tidak perlu diragukan lagi. Panasnya sama dengan briket arang tempurung kelapa. Briket bahan bakar coco peat ini sangat baik sebagai pengganti minyak tanah untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang semakin tergerus,” jelasnya.
Soal ketersediaan bahan baku, Ady mengaku tidak khawatir. Pasalnya, Indonesia sebagai produsen buah kelapa terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 15 miliar butir per tahun, memiliki potensi bahan baku coco peat sekitar 5,8 juta ton per tahun.
“Soal bahan baku, kita tidak perlu khawatir. Yang perlu kita pikirkan, bagaimana mendapatkan mesin yang bisa produksi secara massal. Saya juga sangat yakin, briket bahan bakar coco peat ini akan sangat membantu masyarakat pedesaan mengurangi penggunaan minyak tanah yang harganya sudah mencapai angka Rp13 ribu per liter,” tambahnya.
0 komentar: